Jumat, 04 Juli 2008

pengantar pendidikan

tugas pengantar pendidikan Dasar FilosofiPerennialismrealisEssentialismIdeialis,RealisProgressivismprogmatisReconstuctivismprogmatisTujuanMengengbangkan daya kreativitas peserta didikMeningkatkan dan mewujudkan peserta didik tarampil,dinamis,kreatif dan inovatifMeningkatkan kehidupan social yang terampilMeningkatkan masyarakat yang inofatif dan berprestasipengetahuanDari luar,praktikum berpusat dari mata pelajaran dan slalu dinamis, penguasaan diri, pengetahuan yang di milikiKeterampilan akademik dalam menuntaskan belajar,melihat pada nilai kongnitif,apektif dan psikomotorKurikulum yang berpusat pada pola pikir sehingga aktif dan dapat berkembangBerdiskusi antar peserta didik dan persentasi untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapiNilaiBerdasarkan kemapuan siswa ,nyata tidak dimanupulasi Membantu peserta didik agar dapat mengembangkan kemampuannyaPeserta didik aktif dalam proses belajar dan dapat mengeluarkan daya kreativitasnyaPeserta didik adalah masa depan bangsa untuk meninkatkan kualitas dan kemampuan masyarakat kurikulumsesui dengan kurikilum yang berlaku dan disesuaikan dengan kemampuan peserta didikTeori tanpa paraktik saling berkaitan tanpa itu semua tidak kompetenKurikulum merupakan suatu pegangan dalam pembelajaranKurikulum adalah suatu system dalam proses pembelajaranmetode Guru kompten dan pola pikir intelektualMembuat konsep yang sesuai dengan kurikulum,meningkatan kteativitas peserta didiknyaBanyak kegiatan fokus terhadap kebutuhan siswa dan saling kerja sama antara pengajar peserta didikMemperbaiki pendidikan dengan pola pikir yang kritis dan intelektualPola pikir besar/ahli John dway, charles silberman, Alvin Toffler, Mario Fantini, Paulo freire
draft
08/06/22
oleh biology
Hapus
Edit


tugas

Minggu, 29 Juni 2008

pengantar pendidikan

Jalan Berliku Pendidikan Nasional
Pemimpin negara kita saat ini adalah produk sistem pendidikan nasional kita. Apakah pertanyaan ini menjadi suatu yang logis, jika ada pernyataan bahwa pemimpin bangsa kita saat ini adalah hasil pendidikan bangsa kita saat ini. Apakah ini suatu hal yang mantiqy?
Andai kata pertanyaan ini dijawab dengan jawaban "logis" pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita sudah puas dengan kepemimpinan Presiden selama ini, kalau seandainya jawabannya puas, ya kita biarkan saja negeri kita seperti sekarang ini. Kalau jawaban anda tidak puas, maka kita harus mengubah dengan sekuat tenaga pada sistem pendidikan kita.
Telah disebutkan oleh beberapa pakar pendidikan, bahwa paling tidak sistem pendidikan harusnya mencakup tiga hal: Heart (hati), Head (kepala-otak), Hand (tangan). Tangan digunakan untuk keterampilan, selama ini kita mengadopsi sistem pendidikan barat, maka hasilnya sama dengan mereka, artinya tidak jauh dari kemajuan yang dicapai mereka. Secara continuous (terus menerus) fokus pendidikan kita hanyalah pada otak saja, akan tetapi mengabaikan unsur jiwa/hati sama sekali. Akibatnya di negara kita ini banyak sekali professor yang tercecer, karena terlalu banyak. Padahal di zaman dahulu seorang Insinyur hanya dimiliki oleh Presiden Sukarno, dan orang yang bergelar doktorandus hanya Moh. Hatta. Berbeda dengan sekarang keberadaan mereka membludak karena terlalu banyak.
Fenomena sekarang ini banyak orang pinter tercecer, tetapi karena hatinya tidak dididik, akibatnya seperti yang kemarin-kemarin (korupsi terjadi di berbagai kalangan). Hal ini menjadi suatu yang logis, dikarenakan tidak ada keutuhan (antara unsur lahiriyah dan batiniyah) yang terjalin dalam proses pendidikan di Indonesia.Satu contoh kecil minimal dalam 17 Agustus kita menyanyikan lagu kebangsaan Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya..............., kalau seandainya lirik itu dirubah menjadi bangunlah Badannya kemudian baru bangunlah Jiwanya, maka tidak akan terjadi perubahan nada yang berarti. (artinya Dalam rangka mendidik badan/otak itu harusnya didahulukan, karena keberadaan otak sangat penting untuk memilah antara baik dan buruk, sedangkan mendidik jiwa adalah hal terpenting setelah pendidikan otak, karena dimensi jiwa itu mencakup keseluruhan anggota badan (seperti dalam hadits: idza sholuha sholuha jasadu kulluha).
Akan tetapi realitasnya pendidikan yang terjadi hanya memfokuskan pada badan/fisik saja, sampai-sampai pemimpin diatas itu perutnya besar-besar (kelakar beliau). Jadi kesimpulannya semua hal yang berhubungan dengan badan dan raga itu mendapat prioritas tersendiri di dalam pendidikan di negara kita. Contoh yang mudah seperti keberadaan olah raga dari mulai bulu tangkis sampai sepak bola itu, yang menjadi pembina adalah para jendral, sampai pada suatu saat pembina bulu tangkis itu adalah wakil presiden. Pertanyaan yang cukup mendasar, siapa yang selama ini ditugaskan sebagai pembina jiwa? Apakah MUI (Majelis Ulama Indonesia, sambil bergurau menyindir para pemangku MUI), yang disibukkan oleh proses labelisasi halal, pada beberapa produk makanan. Apakah Depag (Departemen Agama)? padahal depag selama ini bingung masalah Haji, karena sibuk mengurusi dana Umat Abadi, apakah Kyai? wong kyai sekarang ini agak berkurang kredibilitasnya karena sibuk mengurusi urusan yang harusnya tidak mereka urusi (politik dan lainnya). Yang harusnya dicari sekarang ini adalah kyai yang bisa membina jiwa, kalau keberadaannya sudah punah, maka bisa- bisa terjadi kiamat, ha..ha.. ha.. (kelakar Beliau lagi)
Keanehan yang terjadi selama ini banyak sekali terjadi di negara kita, salah satunya bencana Tsunami yang melanda Indonesia. begitu besarnya bencana yang melanda Indonesia secara bertubi-tubi, sampai-sampai ada orang datang kepada saya, menyarankan agar presiden kita di Ruwat aja (ruwat adalah prosesi upacara Jawa dengan maksud meminta keselamatan pada Allah). Aja juga fenomena yang lebih menghebohkan ada seorang kyai, Profesor, ribuan masa pengikutnya malah ditahan kepolisian? ini kan suatu keanehan yang luar biasa dan suatu musibah bagi warga muslim di Indonesia. Permaslahan yang terjadi bukanlah Presiden atau siapa yang perlu di ruwat, akan tetapi harus berani melakukan revolusi yang mampu memperbaiki mental pada bangsa ini.
Ada 32 inventarisasi masalah yang salah kaprah terjadi di Indonesia, menurut analisa pribadi beliau. Salah kaprah yang dimaksud adalah suatu kesalahan menurut ta'rif lughah dan istilahy, akan tetapi dianggap benar menurut orang Indonesia, ini adalah akibat hampir tidak adanya hubungan satu kesatuan antara jiwa dan raga. Tetapi realitas yang terjadi dipisahkan sedemikian rupa, bahkan ditinggalkan persoalan jiwa dan ruh.
Salah satu hal inventarisasi yang dimaksud adalah dibedakannya antara istilah madrasah dengan sekolah, hanya perbedaannya kalau madrasah jika ingin membeli kitab di toko kitab dan sekolah kalau membeli buku di toko buku. jadi tidak ada toko buku yang jual kitab begitu juga sebaliknya.
Keberadaan raport sebagai penunjang pendidikan sudah terlihat sangat memprihatinkan. Pada indeks prestasi siswa begitu diperhatikan betul, nilai yang di berikan disertai dengan bilangan desimal (bilangan berkoma) yang begitu detailnya. Akan tetapi di sisi bawah raport ada catatan tambahan yang melaporkan kelakuan sikap sopan santun, akan tetapi satuan nilai yang diberikan hanya A, B, dan C. Masalahnya indeks prestasi siswa terlalu diperhatikan sedangkan sisi kelakuan (adab), sikap dan sopan santun tidak diberikan nilai yang detail. begitujuga fenomena yang terjadi dipesantren, sama halnya dengan yang terjadi disekolah umum. Padahal orientasi pendidikan sekolah itu adalah lapangan kerja. pertanyaannya apakah raport pesantren itu bisa di gunakan untuk mencari pekerjaan? jadi itu suatu kesalahan yang luar biasa, yang tidak perlu diperjuangkan oleh pesantren. Pesantren harusnya bisa menjaga kurikulumnya untuk menetapkan pendidikan jiwa, ruh, dan badan dalam satu kesatuan. Jadi pesantren tidak perlu berkiblat pada dunia luar yang justru akan mengikis karakteristik pesantren itu sendiri.
Anomali arus pendidikan Indonesia
Realitas dewasa ini banyak orang pintar tapi suka korupsi, hanya dengan bermodal pena dan baju berdasi bisa mengkorupsi uang milyaran rupiah. sedangkan orang yang bodoh untuk mencuri masih harus pakai linggis dan proses hukumannyapun menjadi lama karena dia seorang yang tidak punya sedangkan koruptor sebaliknya. kenapa harus sekolah yang tinggi untuk menjadi maling? ini suatu pertanyaan besar yang haruis di jawab oleh praktisi pendidikan Indonesia. maka dari sini harus ada yang memulai merubah sistem pendidikan yang awalnya hanya mengandalkan daging (kinayah dari tujuan pendidikan nasional yang mengadakan prestasi daripada pembentukan hati nurani). salah satu contoh lembaga yang menerapkan tujuab tersebut adalah pesantren-pesantren, karena pesantren sekarang mulai memberikan karasteristiknya yaitu mendahulukan taallum (pengajaran) daripada tarbiyah (pendidikan ruh).
Malah ada sebagaian orang yang mengusulkan akan adanya anggaran pesantren yang diambil dari APBN, padahal rusaknya pesantren karena diobok-obok oleh pihak luar, kemudian kiainya tidak mau mandiri, mengandalkan bantuan luar yang akibatnya kurikulum pesantren diubah dan akhirnya kiblat salafnya hilang. Amerika sendiri notabene adalah pihak donatur yang siap membantu negara-negara berkembang akan tetapi mereka merubah kurikulum sesuai dengan yang diinginkan Amerika sendiri. maka untuk mengantisipasi masalah anggaran harusnya para wali santri mengetahui apa manfaat syahriah itu bukan sebagai gaji untuk kiainya akan tetapi untuk kemaslahatan santri itu sendiri. karena seorang kiai atau (pemangku pesantren) s sudah sudah payah memberikan ilmunya, kok disana sini masih menuntut gratis. Padahal seorang Ustadz telah mendidik anak didiknya secara dlohiron wa bathinan atau dalam istilah kita murobbi ar-ruhi wal jasad.
Salah satu tauladan beliau yang diadopsi dari ayahnya sendiri (KH Bisri Mustofa), di saat beliau diundang hadir di beberapa tempat untuk hadir muhadloroh, akan tetapi disisi lain harus meninggalkan para santrinya sebagai anak didiknya, itu suatu muskilah yang besar bagi seorang kyai (pemangku pesantren). Akan tetapi apa yang dilakukan beliau menanggapi masalah tersebut. Disaat beliau naik panggung, beliau ingat akan kewajiban mengajar, lantas dalam hati beliau terbesit harapan pada Allah dalam sebuah dialog berikut: "Ya Allah jika dalam acara pengajian ini Engkau berikan pada kami ganjaran (pahala), maka jangan Engkau berikan kepada kami, melainkan gantilah pahala itu kepada santri sebagai futuhal qolb berupa terbukanya hati akan ilmu-ilmu Allah". Jika kemudian doa itu menjadi kenyataan akan kemanfaatan ilmu para santri, maka itulah yang sisi positif pesantren yang kita kenal sebagai Barokatul Ilmi.
Kritik atas Pesantren Berbuah Kemajuan yang semu
Ketika pesantren mencoba memasuki medan baru dalam persaingan dunia pendidikan, instansi ini terkena imbas kemajuan informasi seperti sekarang ini. Satu misal ketika pesantren dikritik habis-habisan oleh praktisi pendidikan formal. Dari sisi kurikulum pesantren tidak memilki batasan yang jelas, tidak memiliki silabus, tidak ada fasilitas belajar yang memadai dan lain-lain. Sehingga dengan adanya kritikan tersebut pesantren mulai berbenah diri dengan menyejajarkan diri dengan dunia pendidikan pada umumnya, begitu juga pandangan masyarakat menjadi berubah, bahwa pesantren telah menjadi tertib, ada ijazah/piagam, rapot, bahkan wisuda santri.Setelah berbenah diri, sepertinya pesantren cenderung meninggalkan karakteristiknya (tarbiyah ruhiyyah) yang tidak dimiliki oleh instansi lain selain pesantren.
Pasalnya sistem pengajaran tanpa diiringi dengan tarbiyah ruh tidak akan menghasilkan buah yang maksimal. Artinya, di satu sisi siswa sebagai anak didik, akan mengalami kemajuan pesat dibidang integensi (kecerdasan, prestasi, ketangkasan), akan tetapi disisi lain (sisi mentalitas kejiwaan) akan mengalami degradasi (kemerosotan) yang luar biasa, akibat dari kelalaian pengajar akan pentingnya sisi mentalitas kejiwaan (ruhiyyah). Contoh konkret banyak pesantren melakukan pengadopsian antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum, banyak madrasah-madrasah yang melakukannyya, akan tetapi apakah nantinya menjamin bahwa mereka akan berakhlaq mulia, dalam arti akhlaq quraniy sebagai mana yang mereka hafalkan di kelas-kelas. Padahal kalau kita lihat Rasulullah dahulu mendidik sahabat ruhiyyah dahulu (ketauhidan) baru kemudian jasmaniyah (ibadah, mu'amalah), maka the result of thats teaching, Rasulullah mampu menciptakan generasi terbaik yang pernah dicatat oleh sejarah dunia. Maka kemudian mengapa pesantren sebagai lembaga pendidikan yang Islami malah meninggalkan dualisme unsur pendidikan rasulullah itu?
Seiring dengan proses penyempurnaan kualitas KBM yang terus diusahakan dan dikembangkan oleh beberapa instansi pesantren, seringkali beliau menghimbau agar usaha tersebut tidak sampai mengganti ataupun menghilangkan samasekali karakteristik pesantren yaitu tarbiyah ruh wal jasad. Karena sejak awal kita menghendaki penyempurnaan sistem bukannya penggantian sistem. Contoh kasus yang paling mudah adalah disaat kita membeli televisi, atau komputer, dalamnya pasti kita dapatkan buku panduan lengkap. Korelasinya dalam dunia pendidikan, sisi pengajaran tak ubahnya sebagai buku pengajaran tersebut. Tanpa membacanyapun, kita akan bisa menguasainya karena kita telah terbiasa dalam pemakaiannya (unsur ini yang kemudian disebut dengan unsur empiris/sisi nyata yang abstrak, sedangkan buku panduan itu sebagai unsur normatif yang konkret).
Hubungannya (korelasi) dalam kehidupan keseharian Nabi Muhammad Shallallahu alihi wasallam, bahwa Rasulullah sendiri lebih mendahulukan sisi tarbiyah daripada pengajaran. Malahan sisi pengajaran bisa diabaikan saat itu, karena amaliyah Rasul berperan sebagai bahan pengajaran yang dapat diambil langsung oleh sahabat, makanya unsur pendidikan yang paling berperan saat itu adalah unsur empiris/perilaku Rasul sebagai as-Syari`, dan mampu menjadi sistem yang paling berhasil saat itu, sekarang dan dimasa yang akan datang. Salah satu contoh ringan, Imam Hasan al-Bashri, seorang Tabi'in yang juga seorang mujadid abad pertama, pernah menanyakan kepribadian Rasulullah pada Sayyidah Aisyah Radliallahu 'anha, lantas Sayyidah Aisyah terheran-heran dengan pertanyaan itu kemudian, beliau balik bertanya: "Wahai Imam!, apakah anda tidak membaca al-Quran? Kana khuluquhu al-Quran, Rasulullah adalah al-Quran yang berjalan". Maka hanya dengan mengamati perilaku keseharian beliau Shalallahu alaihi wasallam, mereka yang hidup sezaman dengan Rasulullah mudah meniru sekaligus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntunan dan ajarannya.
Kemerdekaan Hakiki
Pemangku pesantren harusnya menyadari tidak ada kemajuan suatu lembaga pendidikan kecuali dengan meneruskan estafet Rasulullah, karena memang tidak ada sistem yang digunakan oleh lembaga manapun yang tingkat keberhasilannya bisa mendekati sistem Tarbiyah Rasulullah Shalallahualaihi wassallam. Maka sabda Nabi yang berbunyi: al-Ulama warosatul anbiya', adalah sebagai momentum yang tepat untuk menghidupkan kembali negara kita yang serba terjajah ini. Karena dibalik kemajuan-kemajuan yang dialami oleh bangsa Kita adalah kemajuan yang semu, dalam arti kemajuan fisik/jasmani tidak dibarengi dengan kemajuan ruhiyyah.
Maka pembahasan panjang dari berbagai macam fenomena pendidikan di Indonesia ini, merujuk pada kesimpulan bahwa pesantren adalah tempat paling tepat dalam mengkader umat yang akhlaqnya seperti sahabat, merdeka badannya, keilmuannya, mentalnya, merdeka ruhnya, dan merdeka segala-galanya. Artinya tidak dijajah oleh nafsunya, oleh hartanya, oleh jasadnya, oleh otaknya, karena hakekatnya sahabat adalah golongan yang paling berhasil taraf pendidikan ruhiyyahnya. Dengan ruh sebagai raja dalam tubuh ini maka kemerdekaan yang hakiki adalah puncak keindahan hidup di dunia yang fana ini.
Pesantren dianggap mampu mempelopori adanya aspek tarbiyah ruhiyyah dari pada aspek pengajaran yang selama ini hanya melahirkan generasi umat yang korup, korup jasad dan korup batinnya. Dan kalimat penutup yang paling pas adalah jangan merasa puas dengan apa yang ada selama ini, sistem Negara kita yang demokrasi bukan suatu yang final, karena ternyata Wali Sanga sebelumnya telah menanamkan sistem Negara Islam di tanah Jawa ini, dan ini tidak lain juga sistem yang diadopsi dari generasi sahabat. Akhirnya satu sistem yang harus kita tanamkan dalam diri kita adalah, kita tidak mau dijajah oleh siapa pun kecuali dijajah Allah, yang terlahir dari kalimat la ilaha illallah Muhammadun ar-Rasulullah.
Penulis: Dinnovaj Redaksi Al Bashiroh, sebagaimana dituturkan KH. Mustofa Bisri dalam Haflah Akhirussanah PPSS Nurul Huda Malang, 17 Juli 2005.

penantar pendidikan

JALUR LURUS
Jadikan Hari Esok Lebih Baik
Feed on
Tulisan
Komentar
“Fasisme” dalam Dunia Pendidikan
24 Oktober 2007 oleh Sawali Tuhusetya
Secara jujur harus diakui, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terjebak dalam suasana “fasis”, terpasung dalam cengkeraman rezim penguasa yang otoriter, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi serta daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh, lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, religi, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, emosi dan spiritual. Akibatnya, apresiasi keluaran pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan nurani menjadi nihil.
Mereka menjadi “robot-robot” zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri. Tidak mengherankan jika sendi-sendi kehidupan negeri ini mudah digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarki, destruktif, bahkan mudah terkontaminasi oleh “virus” disintegrasi.
Dalam praktek pembelajaran di kelas, peserta didik –meminjam istilah YB Mangun Wijaya dalam buku Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein (1999)– tidak diajar untuk berpikir eksploratif dan kreatif, tetapi di-drill dan dibekuk agar menjadi penurut. Siswa yang baik telah dicitrakan sebaga “anak mami” yang serba sendika dhawuh dan pendiam. Imbasnya, cakrawala berpikir siswa menyempit dan mengarah pada sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun, perompak, penggusur yang menghambat kemajuan bangsa.

Erat hubungannya dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah makin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang. Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal-budi, bahkan makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, seakan telah menjadi fenomena sosial yang mewabah dalam pranata kehidupan masyarakat kita.
Idealnya, dunia pendidikan harus mampu memberikan proses pencerahan dan katharsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu menghilangkan sikap-sikap “fasis” sekaligus mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapai masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan spiritual yang ditimbanya, mereka diharapkan menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita sangat membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian yang menawarkan pengampunan jika terjadi penghinaan.
Kecerdasan spiritual mewujud dalam perilaku hidup yang diliputi kesadaran penuh, perilaku yang berpedomankan hati nurani, penampilan yang genuine tanpa kepalsuan, kepedulian besar akan tegaknya etika sosial. Sebaliknya, ketidakcerdasan spiritual mewujud dalam perilaku keagamaan yang monolistis, eksklusif, dan intoleran yang meninggalkan jejaknya pada korban konflik kekerasan berbau SARA, seperti yang belakangan ini sering kita saksikan.
Situasi sosial yang sarat dengan perilaku anomali dan ulah tak terpuji, mau atau tidak, harus menjadi bahan renungan bagi kita semua. Sebagai basis dan pusat pembentukan nilai, institusi pendidikan (baca: sekolah) harus mampu mengembalikan fungsinya sebagai pencerah peradaban, mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.
Pendidikan budi pekerti, meskipun tidak tersurat dalam kurikulum harus dihidupkan kembali di sekolah oleh para guru lintas mata pelajaran. Artinya, penanaman nilai budi pekerti tidak semata-mata menjadi tugas guru PPKn atau Pendidikan Agama saja, tetapi secara integratif perlu dijadikan bahan kajian yang tak terpisahkan dalam setiap mata pelajaran.
Kajian nilai budi pekerti, tidak sekadar disampaikan dalam bentuk teori, hafalan, atau “khotbah”, tetapi harus benar-benar menyentuh kedalaman dan hakikat emosional-spiritual yang mampu membuka ruang kesadaran nurani siswa di tengah konteks kehidupan sosial-budaya yang majemuk.
Yang tidak kalah penting, guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan, hendaknya mampu menjadi figur teladan dan anutan di depan para peserta didik. Guru dituntut untuk memiliki sikap demokratis, lebih mawas diri, sehingga secara tidak langsung akan menular ke dalam jiwa dan kepribadian peserta didik.
Di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang masih silang-sengkerut akibat konflik dan krisis multidimensi, sudah saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katharsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar- benar dimaknai secara substansial sebagai “kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan “paripurna”, cerdas emosionalnya sekaligus cerdas spiri
Jalan Berliku Pendidikan Nasional
Pemimpin negara kita saat ini adalah produk sistem pendidikan nasional kita. Apakah pertanyaan ini menjadi suatu yang logis, jika ada pernyataan bahwa pemimpin bangsa kita saat ini adalah hasil pendidikan bangsa kita saat ini. Apakah ini suatu hal yang mantiqy?
Andai kata pertanyaan ini dijawab dengan jawaban "logis" pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita sudah puas dengan kepemimpinan Presiden selama ini, kalau seandainya jawabannya puas, ya kita biarkan saja negeri kita seperti sekarang ini. Kalau jawaban anda tidak puas, maka kita harus mengubah dengan sekuat tenaga pada sistem pendidikan kita.
Telah disebutkan oleh beberapa pakar pendidikan, bahwa paling tidak sistem pendidikan harusnya mencakup tiga hal: Heart (hati), Head (kepala-otak), Hand (tangan). Tangan digunakan untuk keterampilan, selama ini kita mengadopsi sistem pendidikan barat, maka hasilnya sama dengan mereka, artinya tidak jauh dari kemajuan yang dicapai mereka. Secara continuous (terus menerus) fokus pendidikan kita hanyalah pada otak saja, akan tetapi mengabaikan unsur jiwa/hati sama sekali. Akibatnya di negara kita ini banyak sekali professor yang tercecer, karena terlalu banyak. Padahal di zaman dahulu seorang Insinyur hanya dimiliki oleh Presiden Sukarno, dan orang yang bergelar doktorandus hanya Moh. Hatta. Berbeda dengan sekarang keberadaan mereka membludak karena terlalu banyak.
Fenomena sekarang ini banyak orang pinter tercecer, tetapi karena hatinya tidak dididik, akibatnya seperti yang kemarin-kemarin (korupsi terjadi di berbagai kalangan). Hal ini menjadi suatu yang logis, dikarenakan tidak ada keutuhan (antara unsur lahiriyah dan batiniyah) yang terjalin dalam proses pendidikan di Indonesia.Satu contoh kecil minimal dalam 17 Agustus kita menyanyikan lagu kebangsaan Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya..............., kalau seandainya lirik itu dirubah menjadi bangunlah Badannya kemudian baru bangunlah Jiwanya, maka tidak akan terjadi perubahan nada yang berarti. (artinya Dalam rangka mendidik badan/otak itu harusnya didahulukan, karena keberadaan otak sangat penting untuk memilah antara baik dan buruk, sedangkan mendidik jiwa adalah hal terpenting setelah pendidikan otak, karena dimensi jiwa itu mencakup keseluruhan anggota badan (seperti dalam hadits: idza sholuha sholuha jasadu kulluha).
Akan tetapi realitasnya pendidikan yang terjadi hanya memfokuskan pada badan/fisik saja, sampai-sampai pemimpin diatas itu perutnya besar-besar (kelakar beliau). Jadi kesimpulannya semua hal yang berhubungan dengan badan dan raga itu mendapat prioritas tersendiri di dalam pendidikan di negara kita. Contoh yang mudah seperti keberadaan olah raga dari mulai bulu tangkis sampai sepak bola itu, yang menjadi pembina adalah para jendral, sampai pada suatu saat pembina bulu tangkis itu adalah wakil presiden. Pertanyaan yang cukup mendasar, siapa yang selama ini ditugaskan sebagai pembina jiwa? Apakah MUI (Majelis Ulama Indonesia, sambil bergurau menyindir para pemangku MUI), yang disibukkan oleh proses labelisasi halal, pada beberapa produk makanan. Apakah Depag (Departemen Agama)? padahal depag selama ini bingung masalah Haji, karena sibuk mengurusi dana Umat Abadi, apakah Kyai? wong kyai sekarang ini agak berkurang kredibilitasnya karena sibuk mengurusi urusan yang harusnya tidak mereka urusi (politik dan lainnya). Yang harusnya dicari sekarang ini adalah kyai yang bisa membina jiwa, kalau keberadaannya sudah punah, maka bisa- bisa terjadi kiamat, ha..ha.. ha.. (kelakar Beliau lagi)
Keanehan yang terjadi selama ini banyak sekali terjadi di negara kita, salah satunya bencana Tsunami yang melanda Indonesia. begitu besarnya bencana yang melanda Indonesia secara bertubi-tubi, sampai-sampai ada orang datang kepada saya, menyarankan agar presiden kita di Ruwat aja (ruwat adalah prosesi upacara Jawa dengan maksud meminta keselamatan pada Allah). Aja juga fenomena yang lebih menghebohkan ada seorang kyai, Profesor, ribuan masa pengikutnya malah ditahan kepolisian? ini kan suatu keanehan yang luar biasa dan suatu musibah bagi warga muslim di Indonesia. Permaslahan yang terjadi bukanlah Presiden atau siapa yang perlu di ruwat, akan tetapi harus berani melakukan revolusi yang mampu memperbaiki mental pada bangsa ini.
Ada 32 inventarisasi masalah yang salah kaprah terjadi di Indonesia, menurut analisa pribadi beliau. Salah kaprah yang dimaksud adalah suatu kesalahan menurut ta'rif lughah dan istilahy, akan tetapi dianggap benar menurut orang Indonesia, ini adalah akibat hampir tidak adanya hubungan satu kesatuan antara jiwa dan raga. Tetapi realitas yang terjadi dipisahkan sedemikian rupa, bahkan ditinggalkan persoalan jiwa dan ruh.
Salah satu hal inventarisasi yang dimaksud adalah dibedakannya antara istilah madrasah dengan sekolah, hanya perbedaannya kalau madrasah jika ingin membeli kitab di toko kitab dan sekolah kalau membeli buku di toko buku. jadi tidak ada toko buku yang jual kitab begitu juga sebaliknya.
Keberadaan raport sebagai penunjang pendidikan sudah terlihat sangat memprihatinkan. Pada indeks prestasi siswa begitu diperhatikan betul, nilai yang di berikan disertai dengan bilangan desimal (bilangan berkoma) yang begitu detailnya. Akan tetapi di sisi bawah raport ada catatan tambahan yang melaporkan kelakuan sikap sopan santun, akan tetapi satuan nilai yang diberikan hanya A, B, dan C. Masalahnya indeks prestasi siswa terlalu diperhatikan sedangkan sisi kelakuan (adab), sikap dan sopan santun tidak diberikan nilai yang detail. begitujuga fenomena yang terjadi dipesantren, sama halnya dengan yang terjadi disekolah umum. Padahal orientasi pendidikan sekolah itu adalah lapangan kerja. pertanyaannya apakah raport pesantren itu bisa di gunakan untuk mencari pekerjaan? jadi itu suatu kesalahan yang luar biasa, yang tidak perlu diperjuangkan oleh pesantren. Pesantren harusnya bisa menjaga kurikulumnya untuk menetapkan pendidikan jiwa, ruh, dan badan dalam satu kesatuan. Jadi pesantren tidak perlu berkiblat pada dunia luar yang justru akan mengikis karakteristik pesantren itu sendiri.
Anomali arus pendidikan Indonesia
Realitas dewasa ini banyak orang pintar tapi suka korupsi, hanya dengan bermodal pena dan baju berdasi bisa mengkorupsi uang milyaran rupiah. sedangkan orang yang bodoh untuk mencuri masih harus pakai linggis dan proses hukumannyapun menjadi lama karena dia seorang yang tidak punya sedangkan koruptor sebaliknya. kenapa harus sekolah yang tinggi untuk menjadi maling? ini suatu pertanyaan besar yang haruis di jawab oleh praktisi pendidikan Indonesia. maka dari sini harus ada yang memulai merubah sistem pendidikan yang awalnya hanya mengandalkan daging (kinayah dari tujuan pendidikan nasional yang mengadakan prestasi daripada pembentukan hati nurani). salah satu contoh lembaga yang menerapkan tujuab tersebut adalah pesantren-pesantren, karena pesantren sekarang mulai memberikan karasteristiknya yaitu mendahulukan taallum (pengajaran) daripada tarbiyah (pendidikan ruh).
Malah ada sebagaian orang yang mengusulkan akan adanya anggaran pesantren yang diambil dari APBN, padahal rusaknya pesantren karena diobok-obok oleh pihak luar, kemudian kiainya tidak mau mandiri, mengandalkan bantuan luar yang akibatnya kurikulum pesantren diubah dan akhirnya kiblat salafnya hilang. Amerika sendiri notabene adalah pihak donatur yang siap membantu negara-negara berkembang akan tetapi mereka merubah kurikulum sesuai dengan yang diinginkan Amerika sendiri. maka untuk mengantisipasi masalah anggaran harusnya para wali santri mengetahui apa manfaat syahriah itu bukan sebagai gaji untuk kiainya akan tetapi untuk kemaslahatan santri itu sendiri. karena seorang kiai atau (pemangku pesantren) s sudah sudah payah memberikan ilmunya, kok disana sini masih menuntut gratis. Padahal seorang Ustadz telah mendidik anak didiknya secara dlohiron wa bathinan atau dalam istilah kita murobbi ar-ruhi wal jasad.
Salah satu tauladan beliau yang diadopsi dari ayahnya sendiri (KH Bisri Mustofa), di saat beliau diundang hadir di beberapa tempat untuk hadir muhadloroh, akan tetapi disisi lain harus meninggalkan para santrinya sebagai anak didiknya, itu suatu muskilah yang besar bagi seorang kyai (pemangku pesantren). Akan tetapi apa yang dilakukan beliau menanggapi masalah tersebut. Disaat beliau naik panggung, beliau ingat akan kewajiban mengajar, lantas dalam hati beliau terbesit harapan pada Allah dalam sebuah dialog berikut: "Ya Allah jika dalam acara pengajian ini Engkau berikan pada kami ganjaran (pahala), maka jangan Engkau berikan kepada kami, melainkan gantilah pahala itu kepada santri sebagai futuhal qolb berupa terbukanya hati akan ilmu-ilmu Allah". Jika kemudian doa itu menjadi kenyataan akan kemanfaatan ilmu para santri, maka itulah yang sisi positif pesantren yang kita kenal sebagai Barokatul Ilmi.
Kritik atas Pesantren Berbuah Kemajuan yang semu
Ketika pesantren mencoba memasuki medan baru dalam persaingan dunia pendidikan, instansi ini terkena imbas kemajuan informasi seperti sekarang ini. Satu misal ketika pesantren dikritik habis-habisan oleh praktisi pendidikan formal. Dari sisi kurikulum pesantren tidak memilki batasan yang jelas, tidak memiliki silabus, tidak ada fasilitas belajar yang memadai dan lain-lain. Sehingga dengan adanya kritikan tersebut pesantren mulai berbenah diri dengan menyejajarkan diri dengan dunia pendidikan pada umumnya, begitu juga pandangan masyarakat menjadi berubah, bahwa pesantren telah menjadi tertib, ada ijazah/piagam, rapot, bahkan wisuda santri.Setelah berbenah diri, sepertinya pesantren cenderung meninggalkan karakteristiknya (tarbiyah ruhiyyah) yang tidak dimiliki oleh instansi lain selain pesantren.
Pasalnya sistem pengajaran tanpa diiringi dengan tarbiyah ruh tidak akan menghasilkan buah yang maksimal. Artinya, di satu sisi siswa sebagai anak didik, akan mengalami kemajuan pesat dibidang integensi (kecerdasan, prestasi, ketangkasan), akan tetapi disisi lain (sisi mentalitas kejiwaan) akan mengalami degradasi (kemerosotan) yang luar biasa, akibat dari kelalaian pengajar akan pentingnya sisi mentalitas kejiwaan (ruhiyyah). Contoh konkret banyak pesantren melakukan pengadopsian antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum, banyak madrasah-madrasah yang melakukannyya, akan tetapi apakah nantinya menjamin bahwa mereka akan berakhlaq mulia, dalam arti akhlaq quraniy sebagai mana yang mereka hafalkan di kelas-kelas. Padahal kalau kita lihat Rasulullah dahulu mendidik sahabat ruhiyyah dahulu (ketauhidan) baru kemudian jasmaniyah (ibadah, mu'amalah), maka the result of thats teaching, Rasulullah mampu menciptakan generasi terbaik yang pernah dicatat oleh sejarah dunia. Maka kemudian mengapa pesantren sebagai lembaga pendidikan yang Islami malah meninggalkan dualisme unsur pendidikan rasulullah itu?
Seiring dengan proses penyempurnaan kualitas KBM yang terus diusahakan dan dikembangkan oleh beberapa instansi pesantren, seringkali beliau menghimbau agar usaha tersebut tidak sampai mengganti ataupun menghilangkan samasekali karakteristik pesantren yaitu tarbiyah ruh wal jasad. Karena sejak awal kita menghendaki penyempurnaan sistem bukannya penggantian sistem. Contoh kasus yang paling mudah adalah disaat kita membeli televisi, atau komputer, dalamnya pasti kita dapatkan buku panduan lengkap. Korelasinya dalam dunia pendidikan, sisi pengajaran tak ubahnya sebagai buku pengajaran tersebut. Tanpa membacanyapun, kita akan bisa menguasainya karena kita telah terbiasa dalam pemakaiannya (unsur ini yang kemudian disebut dengan unsur empiris/sisi nyata yang abstrak, sedangkan buku panduan itu sebagai unsur normatif yang konkret).
Hubungannya (korelasi) dalam kehidupan keseharian Nabi Muhammad Shallallahu alihi wasallam, bahwa Rasulullah sendiri lebih mendahulukan sisi tarbiyah daripada pengajaran. Malahan sisi pengajaran bisa diabaikan saat itu, karena amaliyah Rasul berperan sebagai bahan pengajaran yang dapat diambil langsung oleh sahabat, makanya unsur pendidikan yang paling berperan saat itu adalah unsur empiris/perilaku Rasul sebagai as-Syari`, dan mampu menjadi sistem yang paling berhasil saat itu, sekarang dan dimasa yang akan datang. Salah satu contoh ringan, Imam Hasan al-Bashri, seorang Tabi'in yang juga seorang mujadid abad pertama, pernah menanyakan kepribadian Rasulullah pada Sayyidah Aisyah Radliallahu 'anha, lantas Sayyidah Aisyah terheran-heran dengan pertanyaan itu kemudian, beliau balik bertanya: "Wahai Imam!, apakah anda tidak membaca al-Quran? Kana khuluquhu al-Quran, Rasulullah adalah al-Quran yang berjalan". Maka hanya dengan mengamati perilaku keseharian beliau Shalallahu alaihi wasallam, mereka yang hidup sezaman dengan Rasulullah mudah meniru sekaligus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntunan dan ajarannya.
Kemerdekaan Hakiki
Pemangku pesantren harusnya menyadari tidak ada kemajuan suatu lembaga pendidikan kecuali dengan meneruskan estafet Rasulullah, karena memang tidak ada sistem yang digunakan oleh lembaga manapun yang tingkat keberhasilannya bisa mendekati sistem Tarbiyah Rasulullah Shalallahualaihi wassallam. Maka sabda Nabi yang berbunyi: al-Ulama warosatul anbiya', adalah sebagai momentum yang tepat untuk menghidupkan kembali negara kita yang serba terjajah ini. Karena dibalik kemajuan-kemajuan yang dialami oleh bangsa Kita adalah kemajuan yang semu, dalam arti kemajuan fisik/jasmani tidak dibarengi dengan kemajuan ruhiyyah.
Maka pembahasan panjang dari berbagai macam fenomena pendidikan di Indonesia ini, merujuk pada kesimpulan bahwa pesantren adalah tempat paling tepat dalam mengkader umat yang akhlaqnya seperti sahabat, merdeka badannya, keilmuannya, mentalnya, merdeka ruhnya, dan merdeka segala-galanya. Artinya tidak dijajah oleh nafsunya, oleh hartanya, oleh jasadnya, oleh otaknya, karena hakekatnya sahabat adalah golongan yang paling berhasil taraf pendidikan ruhiyyahnya. Dengan ruh sebagai raja dalam tubuh ini maka kemerdekaan yang hakiki adalah puncak keindahan hidup di dunia yang fana ini.
Pesantren dianggap mampu mempelopori adanya aspek tarbiyah ruhiyyah dari pada aspek pengajaran yang selama ini hanya melahirkan generasi umat yang korup, korup jasad dan korup batinnya. Dan kalimat penutup yang paling pas adalah jangan merasa puas dengan apa yang ada selama ini, sistem Negara kita yang demokrasi bukan suatu yang final, karena ternyata Wali Sanga sebelumnya telah menanamkan sistem Negara Islam di tanah Jawa ini, dan ini tidak lain juga sistem yang diadopsi dari generasi sahabat. Akhirnya satu sistem yang harus kita tanamkan dalam diri kita adalah, kita tidak mau dijajah oleh siapa pun kecuali dijajah Allah, yang terlahir dari kalimat la ilaha illallah Muhammadun ar-Rasulullah.
Penulis: Dinnovaj Redaksi Al Bashiroh, sebagaimana dituturkan KH. Mustofa Bisri dalam Haflah Akhirussanah PPSS Nurul Huda Malang, 17 Juli 2005.

Kamis, 26 Juni 2008

pengantar pendidikan

Guru memberikan fasilitasi belajar yang berorientasi pada; AKTIVITAS PEMBELAJAR ITU SENDIRI. Sehingga tugas Guru sebenarnya tidak untuk memberikan ikan-nya tetapi memberikan kail (sarana) serta cara menggunakannya, sehingga pembelajar dapat memanfaatkan untuk menangkap ikan disaat diperlukan, dan dimana mereka berada.2.Guru tidak memberikan materi akademik dan non akademik melalui proses TRANSFEER KNOWLEDGE yaitu memindahkan seluruh pengetahuan "isi batok kepala" Guru, tentang sains dan teknologi kepada para pembelajar, akan tetapi terlebih kepada bagaimana cara mengeksplorasi pemahaman konsep-konsep pengetahuan dan teknologi (aspek Kognisi) tersebut dapat diperoleh, sehingga aspek Psikomotor ikut tergali bersamaan dengan aspek internalisasi dirinya, dalam wujud menguatnya rasa percaya diri (Self Confidence) serta eskalasi mental lainnya (aspek Afeksi). Dengan demikian tugas Guru lebih fokus pada upaya memfasilitasi pembelajar tentang cara-cara bagaimana berpikir ilmiah dalam menyelesaiakan masalah yang dihadapi, serta membiasakan diri peduli serta tanggap terhadap kondisi lingkungan hidupnya.3.Guru harus senantiasa berupaya agar pembelajar memiliki keyakinan diri bahwa mereka mampu menyelesaikan Tugas-tugas Perkembangan (Psikologi) yang dialami, sehingga muncul kesadaran diri akan Potensi Kecerdasan yang dimilikinya. Seharusnya seorang Guru selalu mengamati ekspresi pembelajar saat menemukan “sesuatu yang baru” di dalam pikiran mereka. Hendaknya seorang Guru jangan pernah menunjukkan bahwa dirinya memang pintar atau cerdas, hanya karena ingin dianggap “super” serta takut kehilangan wibawa di hadapan peserta didiknya.4.Learn How to Learn.Orientasi Guru lebih pada Bagaimana Pembelajar Belajar, dan hal itu antara lain dapat diperoleh melalui upaya “mencari dan menemukan sendiri” (Inquary methode). JAUH LEBIH PENTING MENGETAHUI BAGAIMANA CARA SISWA BERPIKIR, DIBANDING SEKEDAR TAHU HASIL BERPIKIRNYA SAJA. Sehingga tidak selayaknya Guru mediktekan keinginannya, apalagi berdasar pengalaman pribadi Guru di masa lampau, karena pembelajar akan menggali pengalaman belajarnya sendiri(Experience Learning) di saat ini, untuk menggapai cita-citanya di masa depan. Betapa pentingnya seorang Guru MAMPU MEMBERIKAN PELUANG PENGALAMAN BELAJAR BAGI PESERTA DIDIKNYA, sehingga pembelajar tersebut dapat terus berkembang sendiri dengan seluruh potensi dirinya. Dalam hal pengalaman belajar, seorang Guru menjumpai masalah besar menyangkut waktu kejadian belajar (saat ini) dengan realitas kebutuhann peserta didik (di masa datang), apabila sang guru TIDAK MAMPU menjembataninya!.Penelitian Johnson,dkk (2001) dan Newman(2001) menyimpulkan besarnya pengaruh pengalaman belajar Guru dengan keberhasilan belajar peserta didik, sehingga ke depan riset-riset Psikologi akan menjadi bagian yang penting di dalam implementasi kependidikan. Hal ini juga dapat dilihat pada besarnya pengaruh proses Psikologi seperti "motivasi", "perasaan", "ingatan", "fantasi", "perhatian", "pengamatan","tanggapan", maupun penelitian dari Schunk & Ertner (2000)tentang "kecakapan diri" (self efficasy).ISTILAH PENTING: PSKOLOGI adalah studi ilmiah tentang perilaku dan proses mental seseorang.PSIKOLOGI PENDIDIKAN adalah bagian dari ilmu Psikologi yang mengkhususkan diri pada cara-cara untuk memahami proses pengajaran dan pembelajaran di dalam lingkup pendidikan.SELF EFFICACCY adalah keyakinan seseorang dapat menguasai situasi dan mengatasi persoalan,sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang positif.


tugas.
guru yang baik adalah guru yang membuat peserta didiknya berpikir.
menurut pendapat saya guru yang baik adalah guru yang selalu membantu peserta didiknya menjadi maju kita juga harus mengasah bakat yang ada di dalam dirinya tidak semua siswa sama. dan menjadikan siswa tersebut menjadi mandiri.

jawab. menurut saya belajar atau mengajar peserta didik harus dengan seni supaya tidak membosankan melainkan menjadi menarik dan cara mengajarnya berbeda-beda dan tidak monoton

Minggu, 22 Juni 2008

pengantar pendidikan

mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan kerjasama antar ummat manusia.

B. Tokoh-tokoh Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg

C. Tempat Asal Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.

D. Pandangan Rekonstruksionisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam bakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan bakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, semen tara itu kenyataan bathin segera diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sarna sekali sunyi dan substansi.
Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung padii ilmt pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.

3. KONSTRUKSIONISM

A. Pendahuluan
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Satu cara untuk mendapatkan intisari pandangan konstruktivisme adalah membahas dua bentuknya, yaitu konstruktivisme individu dan sosial.

1. Konstruktivisme Individu

Pandangan ini fokus pada kehidupan “inner psikologi” manusia, yakni mengartikan sesuatu dengan menggunakan pengatahuan dan keyakinannya secara individu. Pengetahuan disusun dengan mentransformasikan, mengorganisasi, dan mereorganisasikan pengetahuan yang sebelumnya. Pengetahuan bukan merupakan cermin dari luar, walaupun pengalaman mempengaruhi pemikiran, dan pemikiran mempengaruhi pengetahuan.

Eksplorasi dan penemuan, jauh lebih penting dari pengajaran. Piaget menekankan pada hal-hal yang masuk akal dan konstruksi pengetahuan yang tidak bias secara langsung dipelajari dari lingkungan. Pengetahuan muncul dari merefleksikan dan menghubungkan kognisi atau pikiran-pikiran kita sendiri, bukan dari pemetaan realitas eksternal. Piaget melihat lingkungan sosial sebagai sebuah faktor penting dalam pengembangan kognisi, tapi dia tidak meyakini bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama dalam mengubah pikiran.

2. Konstruktivisme Sosial

Vgotsky meyakini, bahwa interaksi sosial, unsur-unsur budaya, dan aktivitasnya adalah yang membentuk pengembangan dan pembelajaran individu. Atau dengan kata lain, pengetahuan disusun berdasarkan interaksi sosial dalam konteks sosialbudayanya. Pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring dan dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keyakinan, interaksi antar sesama, pengajaran klasikal, dan role modeling.

Penemuan yang terencana, pengajaran, model dan pelatihan, seperti juga pengetahuan, keyakinan dan pemikiran siswa, mempengaruhi pembelajaran. Vygotsky juga dianggap sebagai konstruktivis sosial, sekaligus individu. Yang pertama, disebabkan teorinya sangat bergantung kepada interaksi sosial dan konteks budaya dalam menjelaskan pembelajaran. Beberapa teoritikus mengkategorikannya sebagai konstruktivis individu, karena ketertarikannya dalam pengembangan individu.

B. DIMENSI-DIMENSI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

1. Lingkungan Belajar yang Kompleks dan Tugas-tugas Otentik

Siswa tidak boleh diberikan bagian-bagian yang terpisah, penyederhanaan masalah, dan pengulangan keterampilan dasar, tetapi sebaliknya: siswa dihadapakan pada lingkungan belajar yang kompleks, terlihat samar-samar, dan masalah yang tidak beraturan.

Masalah-masalah yang kompleks itu harus dihubungkan pada aktivitas dan tugas yang otentik, karena keberagaman situasi yang siswa hadapi tersebut, seperti juga aplikasi yang mereka hadapi tentang dunia nyata.
2. Negosiasi Sosial

Tujuan utama pembelajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam membangun serta mempertahankan posisi mereka, dan disaat bersamaan menghormati posisi orang lain dan bekerjasama untuk berdiskusi atau membangun pengertian bersama-sama. Guna mnyelesaikan perpaduan ini, haruslah berbicara dan mendengarkan satu sama lain. Dengan kata lain, proses mental ini melalui negosiasi sosial dan interaksi, sehingga kolaborasi dalam pembelajaran dapat dimungkinkan, yakni melahirkan sebuah sikap intersubyektif – sebuah komitmen untuk membangun keragaman pengertian dan menemukan kesamaan umum serta perpaduan penafsiran.

3. Keragaman Pandangan dan Representasi Bahasan

Acuan-acuan untuk pembelajaran harus sudah dapat memfasilitasi representasi beragam bahasan dengan menggunakan analogi contoh dan metafora yang berbeda. Peninjauan materi yang sama, pada waktu yang berbeda-beda dalam penyusunan kembali konteks untuk tujuan yang berbeda, dan dari pandangan konseptual yang berbeda adalah penting untuk mencapai tujuan kemampuan pengetahuan yang lebih maju.

4. Proses Konstruksi Pengetahuan

Pendekatan konstruktivisme mengedepankan untuk membuat siswa peduli pada peran mereka dalam membangun pengetahuan. Asumsinya adalah keyakinan dan pengalaman individu, membentuk apa yang dikenal sebagai dunia. Asumsi dan pengalaman berbeda, mengarahkan kepada pengetahuan yang berbeda pula. Apabila siswa peduli terhadap pengaruh-pengaruh yang membentuk pola pikir mereka, maka mereka akan lebih mampu untuk memilih, mengembangkan, dan memanfaatkan posisi dengan cara introspeksi diri, pada saat yang bersamaan menghormati posisi orang lain.

5. Pembelajaran Siswa Terhadap Kesadaran Dalam Belajar

Fokus dalam proses ini adalah menempatkan berbagai usaha siswa untuk memahami pembentukan pembelajaran dalam pendidikan. Kesadaran yang timbul pada diri siswa, bukan berarti guru melonggarkan tanggungjawabnya untuk memberikan pengarahan atau bimbingan.

C. PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

1. Discovery Learning

Dalam model ini, siswa didorong untuk belajar sendiri, belajar aktif melalui konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan guru sebagai motivatornya. Pertama, guru mengidentifikasi kurikulum. Selanjutnya memandu pertanyaan, menyuguhkan teka-teki, dan menguraikan berbagai permasalahan. Kedua, pertanyaan yang fokus harus dipilih untuk memandu siswa ke arah pemahaman yang bermakna. Siswa lalu memformulasikan jawaban sementara (hipotesis). Ketiga, mengumpulkan data dari berbagai sumber yang relevan, dan menguji hipotesis. Keempat, siswa membentuk konsep dan prinsip. Kelima, guru memandu proses berfikir dan diskusi siswa, untuk mengambil keputusan. Keenam, merefleksikan pada masalah nyata dan mengolah pemikiran guna menyelesaikan masalah.

Proses ini mengajarkan siswa untuk memahami isi dan proses dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, siswa belajar menyelesaikan masalah, mengevaluasi solusi, dan berfikir logis.

1. Pembelajaran Berbasis Masalah

Dalam model ini, siswa dihadapkan pada masalah nyata yang bermakna untuk mereka. Persoalan sesungguhnya dari pembelajaran berbasis masalah adalah menyangkut masalah nyata, aksi siswa, dan kolaborasi diantara mereka untuk menyelesaikan masalah. Pertama, guru memotivasi diri siswa, dan mengarahkannya kepada permasalahan. Kedua, guru membantu siswa dengan memberi petunjuk tentang literatur yang terkait masalah, dan mengorganisirnya untuk belajar dengan membuat kelompok kerja.

Ketiga, guru menyemangati siswa untuk mencari lebih banyak literatur, melakukan percobaan, membuat penjelasan untuk menemukan solusi. Setelah itu, secara mandiri, kelompok kerja siswa melakukan penyelidikkan. Keempat, kelompok kerja siswa mempresentasikan hasil temuannya, baik itu berupa laporan, video, model, dan dibantu guru dalam mendiskusikannya. Kelima, kelompok kerja siswa menganalisis, dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah. Pada bagian ini pula, guru membantu siswa dalam merefleksikannya.

Pada model ini, guru dan siswa bersama-sama dalam proses, sesuai dengan porsinya. Mereka bersama-sama untuk mengkaji, membaca, menulis, meneliti, berbicara, guna menuju pada penyelesaian masalah selayaknya dalam kehidupan yang nyata.

Tidak ada satupun teori tunggal konstruktivisme, begitupula tidak ada satu-satunya model pembelajaran sebagai penerapan konstruktivisme. Walaupun demikian banyak dari kaum konstruktivis, merekomendasikan kepada pendidik bahwa :

1. Pembelajaran melekat dalam lingkungan belajar yang kompleks, realistis, dan relevan.
2. Menyediakan negosiasi sosial, dan tanggungjawab bersama sebagai bagian dari pembelajaran.
3. Mendukung pandangan beragam dan menggunakan representasi yang juga beragam terhadap isi yang dipelajari.
4. Meningkatkan kesadaran diri dan pengertian bahwa pengetahuan itu dibangun, dan
5. Mendorong kesadaran dalam pembelajaran.


4. ESSENTIALISM

A. Pendahuluan
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental.
Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.
Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.

B. Pandangan Esensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

1. Pandangan Essensialisme Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.
Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan di teruskan kepada angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:

1. Determiuisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.

2. Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.

2. Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:

1. Universum:
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.

2. Sivilisasi:
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera .

3. Kebudayaan:
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.

4. Kepribadian:
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.
Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi .
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen at au dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.
B. Tokoh-tokoh Esensialisme


1. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual.

2. George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu.

C. Pandangan Esensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
1. Pandangan Essensialisme Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.

belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.

D.Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kua


5. PROGRESIVISM

A. Pendahuluan
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.

Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya


B. Pandangan Progesivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain, Oleh karena itu filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.


C. filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes

(fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya.Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek.

Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem solving.
Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

D. Tokoh-tokoh Progresivisme

1. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)

James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.

tugas pengantar pendidikan

Dasar Filosofi

Perennialism

realis

Essentialism

Ideialis,Realis

Progressivism

progmatis

Reconstuctivism

progmatis

Tujuan

Mengengbangkan daya kreativitas peserta didik

Meningkatkan dan mewujudkan peserta didik tarampil,dinamis,kreatif dan inovatif

Meningkatkan kehidupan social yang terampil

Meningkatkan masyarakat yang inofatif dan berprestasi

pengetahuan

Dari luar,praktikum berpusat dari mata pelajaran dan slalu dinamis, penguasaan diri, pengetahuan yang di miliki

Keterampilan akademik dalam menuntaskan belajar,melihat pada nilai kongnitif,apektif dan psikomotor

Kurikulum yang berpusat pada pola pikir sehingga aktif dan dapat berkembang

Berdiskusi antar peserta didik dan persentasi untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi

Nilai

Berdasarkan kemapuan siswa ,nyata tidak dimanupulasi

Membantu peserta didik agar dapat mengembangkan kemampuannya

Peserta didik aktif dalam proses belajar dan dapat mengeluarkan daya kreativitasnya

Peserta didik adalah masa depan bangsa untuk meninkatkan kualitas dan kemampuan masyarakat

kurikulum

sesui dengan kurikilum yang berlaku dan disesuaikan dengan kemampuan peserta didik

Teori tanpa paraktik saling berkaitan tanpa itu semua tidak kompeten

Kurikulum merupakan suatu pegangan dalam pembelajaran

Kurikulum adalah suatu system dalam proses pembelajaran

metode

Guru kompten dan pola pikir intelektual

Membuat konsep yang sesuai dengan kurikulum,meningkatan kteativitas peserta didiknya

Banyak kegiatan fokus terhadap kebutuhan siswa dan saling kerja sama antara pengajar peserta didik

Memperbaiki pendidikan dengan pola pikir yang kritis dan intelektual

Pola pikir besar/ahli

John dway, charles silberman,

Alvin Toffler, Mario Fantini, Paulo freire

tugas

Jumat, 02 mei 2008

  1. Mengapa psikologi pendidukan menjadi sangat penting untuk difahami dan diterapkan oleh guru, saat memfasilitasi proses pembelajarannya? Karena psikologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku-tingkah laku yang terjadi di dalam pendidikan, dan apabila guru tersebut tidak mempelajari psikologi pendidikan, guru akan sulit dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar dan guru akan sulit menghadapi anak dan sulit untuk mengendalikan dirinya sendiri.
  2. Proses psikologiyang berpengaruh pada proses belajar

· Motivasi adalah sesuatu yang menjadi pendorong tingkah laku yang menuntut/mendorong orang untuk memenuhi suatu kebutuhan.dan sesuatu yang dijadikan motivasi itu merupakan suatu keputusan yang telah ditetapkan individu sebagai suatu kebutuhan/tujuan yang nyata ingin dicapai.

· Perasaan adalah sebagai fungsi jiwa adalah mempunyai arti memulai tehadap situasi simana dengan kita berpadu secara pribadi. Situasi-situasi yang menyenangkan kita nilai secara positif, sedangkan situasi-situasi yang tidak menyenangkan kita nilai secara negatif.

· Fantasi adalah suatu daya jiwa untuk menciptakan tanggapan-tanggapan baru dengan bantuan tanggapan-tanggapan yang sudah ada pada diri kita, jadi ciri khas dari gejala jiwa ini adalah unsur menciptakan sesuatu yang baru dalam jiwa.

· Perhatian adalah mempunyai tugas selektif terhadap rangsangan-rangsangan yang mengenai/ sampai kepada individu.

· Pengamatan adalah aktivitas jiwa yang memungkinkan manusia mengenal rangsangan-rangsangan yang sampai kepadanya melalui alat-alat indranya; dengan kemampuan inilah kemungkinan manusia / individu mengenal milliaen hidupnya.

· Tanggapan adalah bayangan atau kesan kenangan dari pada apa yang pernah kita amati/kenali.

· Ingatan adalah bahwa tiap moment/peristiwa yang di sadari setelah tenggelam ke bawah sadar, tidaklah segera hilang pengaruhnya, melainkan masih mengesankan kerja kelanjutannya.

  1. Pakar psikologi pendidikan di awal perkembangannya,

· William James

Tak lama setelah meluncurkan buku ajar psikologinya yang pertama, Principles of Psychology (1890), William James (1842-1910) memberikan serangkaian kuliah yang bertajuk “Talks to Teachers” (James 1899/1993). Dalam kuliah ini dia mendiskusikan aplikasi psikologi untuk mendidik anak. James mengatakan bahwa eksperimen psikologi di laboraturium sering kali tidak bisa menjelaskan kepada kita bagaimana cara mengjar anak secara efektif. Dia menjelaskan mempelajari proses belajar dan mengajar di kelas guna meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu rekomendasinya adalah mulai mengajar pada titik yang sedikit lebih tinggi diatas tingkat pengetahuan dan pemahaman anak dengan tujuan untuk memperluas cakrawala pemikiran anak.

· John Dewey

Tokoh kedua yang berperan besar dalam membentuk psikologi pendidikan

dan dia motor penggerak untuk mengaplikasikan psikologi di tingkat praktis. Dewey membangun laboratorium psikologi pendidikan pertama di AS, di Universitas Chicago, pada tahun 1894. kemudian, di Colombia University, kemudian dia melanjutkan karya inovatifnya tersebut .kita banyak mendapat ide penting dari Jhon Dewey.

1. kita mendapatkan pandangan tentang anak sebagai pembelajar aktif. Sebelum Dewey mengemukakan pandangan ini, ada keyakinan bahwa anak-anak mestinya duduk diam di kursi mereka dan mendengarkan pelajaran secara pasif dan sopan. Sebaliknya, Dewey percaya bahwa anak-anak akan belajar dengan baik jadi mereka aktif.

2. kita mendapatkan ide bahwa pendidikan seharusnya difokuskan pada anak secara keseluruhan dan memperkuat kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Dewey percaya bahwa anak-anak seluruhnya tidak hanya mendapat pelajaran akademik saja, tetapi juga harus diajari acara untuk berpikir dan beradaptasi dengan dunia di luar sekolah.

3. kita mendapat gagasan bahwa anak berhak mendapatkan pendidikan yang selayaknya. Dewey adalah salah seorang psikologi yang sangat berpengaruh – seorang pendidik yang mendukung pendidikan yang layak bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan, dari semua lapisan sosial-ekonomi dan etnis.

· L. Thorndike

Printis ketiga yang memberi banyak perhatian pada penilaian dan pengukuran dan perbaikan dasar-dasar belajar secara ilmiah. Thorndike berpendapat bahwa salah satu tugas pendidikan di sekolah yang paling penting adalah menanamkan keahlian penalaran anak. Thorndike sangat ahli dalam melakukan studi belajar dan mengajar secara ilmiah dan mengajukan gagasan bahwa psikologi pendidikan harus punya basis ilmiah dan harus berfokus pada pengukuran.